Tari Bedhaya Semang - Sejarah, Fungsi, Makna Filosofis, dan Busana

Posting Komentar

Tari Bedhaya Semang merupakan salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang termasuk sebagai tari pusaka di Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam sejarahnya, tarian klasik ini tercipta pada tahun 1759 dan merupakan satu di antara hasil karya dari Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Bedhaya sendiri adalah tarian yang penuh dengan muatan simbolik filosofis yang tinggi. Oleh karena itu, Bedhaya termasuk seni pertunjukan paling penting di dua keraton Mataram, Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat. Dalam istana Kasunanan Surakarta, tarian serupa bernama Tari Bedhaya Ketawang.

Makna Tari Bedhaya Semang

Tari Bedhaya Semang Yogyakarta dalam pelembagaannya merupakan tarian sakral dengan usia yang sangat tua. Tarian ini hadir sebagai reaktualisasi hubungan suci nan mistis yang terjadi antara Sultan Agung dari Mataram dengan Ratu Kidul sebagai penguasa laut selatan atau Samudera Indonesia.

Karena kesakralannya, tari ini pun menjadi tarian pusaka yang dikeramatkan. Sebagai tarian pusaka, pada awal pertunjukan para penarinya keluar dari Bangsal Prabayeksa untuk selanjutnya menuju ke Bangsal Kencono. Bangsal Prabayeksa merupakan tempat penyimpanan pusaka-pusaka keraton .

Ketika merujuk pada babad nitik, bedhaya adalah gubahan dari Kanjeng Ratu Kidul, sementara semang merupakan nama pemberian dari Sultan Agung. Secara umum, tarian bedhaya tersaji hanya untuk kepentingan ritual keraton dan melibatkan para penari putri yang berjumlah sembilan.

Jumlah penari merupakan simbolisasi arah mata angin serta kedudukan bintang-bintang. Selain itu, sembilan penari juga melambangkan lubang hawa (babadan hawa sanga) yang meliputi, dua lubang hidung, dua lubang mata, dua lubang telinga, satu lubang kemaluan, satu lubang mulut dan satu lubang dubur.

Pengiring tarian mengkombinasikan Gamelan Jawa dengan instrumen tiup dan gesek. Gendingnya khusus. Merujuk Serat Nut Semang Bedhaya (acuan mengiringi tarian ini), lirik dalam Bedhaya Semang mengisahkan percintaan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari atau Ratu Kidul.

Nama & Peran Penari Bedhaya

Penari Tari Bedhaya umumnya berjumlah sembilan, demikian juga dengan Tari Bedhaya Semang. Selain menjadi perlambang jumlah bilangan terbesar, jumlah penari bedhaya juga memiliki arti yang sangat penting dalam pemikiran-pemikiran metafisika, khususnya di dalam kepercayaan masyarakat Jawa.

Kesembilan penari dalam Bedhaya Semang terdiri dari : batak, endhel, jangga, apit ngajeng, apit wingking, dhadha, endhel wedalam ngajeng, endhel wedalan wingking dan bunthil. Peran-peran tersebut melambangkan mikroskopis (jagading manusia) yang diasosiasikan dengan struktur tubuh manusia.

  1. Batak adalah simbol akal pikiran manusia
  2. Endhel adalah simbol hawa nafsu manusia
  3. Dhadha melambangkan hati sebagai pengendalian diri manusia
  4. Jangga sebagai lambang dari leher manusia
  5. Apit Ngajeng melambangkan lengan kanan manusia
  6. Apit Wingking melambangkan lengan kiri manusia
  7. Endhel Wedalan Ngajeng simbol tungkai kanan manusia
  8. Endhel Wedalan Wingking simbol tungkai kiri manusia
  9. Bunthil sebagai lambang alat kelamin manusia

Gerakan tari bersifat mengikat dan tidak boleh ada pelanggaran. Setiap gerak mengandung makna atau menyimbolkan maksud-maksud tertentu. bathak adalah peran utama dan endhel mewakili kehendak manusia. Peperangan bisa saja terjadi antara kedua peran tersebut yang dapat terlihat pada posisi jengkang.

Busana Penari Bedhaya Semang

Dalah hal tata busana, para penari Bedhaya Semang menggunakan busana tari yang sama sebagai simbolisasi bahwa manusia terlahir dalam keadaan dan wujud yang sama. Hanya saja, seiring perkembangannya, busana mengalami perubahan sesuai dengan kehendak sultan yang sedang memerintah.

Karena tidak ada gambar atau dokumen lain, busana tari pada masa Sultan Hamengku Buwono I tidak diketahui bentuknya. Gambaran rinci tentang busana para penari baru ada pada masa Sultan Hamengku Buwono V, baik busana maupun tata riasnya mirip dengan busana untuk mempelai istana.

Pada masa Sultan Hamengku Buwono VI, busana tari ini terdiri dari : mekak (kemben, kain penutup badan atau dada), kain parang rusak sereden, udher cindhe, slepe dan keris sebagai lambang keprabon. Ada juga hiasan kepala gelung bokor pakai klewer bunga melati, cundhuk mentul, kelat bahu dan gelang.

Pada masa Sultan Hamengku Buwono VII, secara garis besar busananya sama. Memakai baju tanpa lengan dengan gombyok, kain seredan, udhet cindhe, rambut gelung bokor dengan klewer berbalut bunga melati. Lalu, cundhuk mentul dengan paes mirip pengantin istana serta memakai gelang, slepe dan keris.

Perbedaan lebih terlihat di masa Sultan Hamengku Buwono VIII. Tidak lagi kerikan, memakai hiasan kepala jamang dan bulu-bulu, gulung bokor, ron kalung sung-sun, kelat bahu, dan gelang. Baju masih tanpa lengan dengan seredan parang rusak dan udhet cindhe. Pada adegan peperangan, juga melibatkan keris.

Referensi
  1. gateofjava.wordpress...
  2. docplayer.info/6009...

Artikel Terkait

Posting Komentar