Bedhaya Bedhah Madiun - Sejarah, Penyajian Gerak & Pengiring Tari

Posting Komentar

Tari Bedhaya Bedhah Madiun adalah tari klasik di keraton Yogyakarta yang lahir di masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada kisaran tahun 1921. Seperti telah terisyaratkan pada namanya, tarian ini tercipta sebagai penggambaran dari peperangan yang pernah terjadi antara Mataram dan Madiun.

Peperangan tersebut lebih terkenal dengan nama Tudhung Madiun atau bedhah-nya Madiun. Adalah Panembahan Senopati yang berkeinginan memperluas kerajaannya hingga ke Madiun. Keinginan itu yang kemudian melahirkan peperangan dengan raja ke-3 dari Madiun, yakni Pangeran Timur.

Ketika perang berkecamuk, muncullah Retno Dumilah, putri raja Madiun sebagai pemimpin perang yang awalnya kekeh ingin mempertahankan kerajaannya. Sayangnya, ia luluh dan jatuh cinta karena bujuk rayu Panembahan Senopati hingga akhirnya menjadikan Retno Dumilah sebagai permaisuri.

Kisah peperangan tersebut kemudian menjadi latar belakang lahirnya Tari Bedhaya Bedhah Madiun. Tidak jarang, tarian ini juga mendapat sebutan Tari Bedhaya Gandakusuma. Nama terakhir ini merujuk pada nama gending pengiring tariannya yang bernama gendhing gandakusuma.

Tidak hanya di Keraton Yogyakarta, Bedhaya Bedhah Madiun juga bisa kita temukan di Pura Mangkunegaran Surakarta. Latar belakang sejarahnya pun sama dengan masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Selain sejarah, persamaan lainnya terlihat pada lampahan beksan dan sindhenan.

Ada persamaan, ada juga perbedaan. Bedhaya Bedhah Madiun di Yogyakarta dan di Surakarta memiliki perbedaan dalam visualisasi-nya. Jumlah penarinya juga berbeda. Di Keraton Yogyakarta, tarian ini melibatkan sembilan penari, sementara di Keraton Surakarta penarinya berjumlah tujuh.

Penyajian Tari Bedhaya Bedhah Madiun

Pertunjukan Tari Bedhaya ini akan diawali terlebih dahulu dengan lagon atau nyanyian oleh beberapa orang pria dengan iringan instrumen gambang, rebab, gong, gender dan suling. Selanjutnya, suara gendhing mengalun menandai keluarnya para penari, kapang-kapang atau berjalan maju.

Proses tersebut juga berakhir dengan lagon hingga semua penari siap dengan bersila panggung. Sementara penari masih dalam posisi bersila, terdengarlah seorang yang menguraikan secara singkat tentang pencipta tarian ini beserta kandha atau ringkasan ceritanya.

Selanjutnya kawin sekar, yaitu tembang yang mengawali gendhing, sebagai ganti buka gendhing yang biasanya melibatkan salah satu instrumen gamelan (Padmosoekotjo 1960). Setelah itu, gendhing ageng pun diperdengarkan untuk mengiringi Tarian Bedhaya Bedhah Madiun.

Ragam gerak tari yang terdapat dalam gendhing ageng adalah nyembah, ngenceng, encot, trisig, lampah semang, dan imbal. Dalam gendhing ageng juga ada gerak gewer udhet, apit nyolongi, gudhawa asta minggah, pucang kanginan, gudhawa asta II, ngewer udhet, pendhapan maju mundur.

Setelah gendhing ageng selanjutnya ada dhawah yang masih dalam satu gendhing yang pertama. Baru setelah itu pindah ke gendhing alit. Ragam gerak gendhing alit di antaranya adalah kipat gajahan, lembehan, duduk wuluh, impang majeng, lampah mundur, ngenceng, jengkeng, nglayang.

Setelah suwuk, kemudian berlanjut ke gendhing ketawang. Di dalam gendhing ketawang, gerak tari yang muncul merupakan gerak tari pokok. Gerak tari pokok dalam gendhing ini yang membedakan antara bedhaya yang satu dengan bedhaya yang lain berdasarkan latar belakang ceritanya.

Gerakan yang muncul adalah bango mati, ngundhuh sekar, gidrah, ngundhuh sekar, gidrah, ngundhuh sekar II. rakit gelar ini mewakili perang antara Retno Dumilah dan Panembahan Senapati yang berakhir dengan saling jatuh cinta. Pada akhirnya, kembali ke kapang-kapang dengan iringan lagon.

Referensi
  1. digilib.isi.ac.id/682/1...
  2. download.portalgarud...
  3. www.tasteofjogja.org...
Terbaru Lebih lama

Artikel Terkait

Posting Komentar