Tari Bedhaya Ketawang, Pengertian, Penari, Busana dan Pengiring

Posting Komentar

Tari Bedhaya Ketawang adalah tarian Bedhaya di Keraton Surakarta. Seni klasik nan sakral yang hanya tampil saat Penobatan Raja serta Hari Peringatan Kenaikan Tahta (Tingalan Dalem Jumenengan). Sebagai peninggalan Kerajaan Mataram, kita juga bisa dapat tarian serupa di Keraton Yogyakarta yakni Tari Bedhaya Semang.

Dikatakan bahwa Tari Bedhaya Ketawang di Keraton Surakarta merupakan penggambaran dari hubungan asmara penguasa mistik laut selatan, yakni Kanjeng Ratu Kidul dengan Raja-raja Mataram. Tercipta sebagai perlambang sebuah hubungan spiritual yang mewujud ke dalam gerakan-gerakan tangan serta seluruh bagian tubuh.

Selain itu, setiap kata-kata yang tercantum dalam tembang pengiring mengungkapkan curahan asmara Ratu Kidul kepada sang raja. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, Kanjeng Ratu Kidul hadir dalam upacara dan ikut menarikan tarian ini sebagai penari kesepuluh, melengkapi penari Bedhaya yang berjumlah sembilan.

Pengertian Istilah Bedhaya Ketawang

Istilah Bedhaya Ketawang berasal dari kata bedhaya yang merujuk pada sebutan bagi para penari wanita di dalam Istana. Sementara itu, ketawang merupakan nama gending yang mengiringi tarian ini. Terkait maknanya, istilah ketawang merujuk pada langit atau identik dengan sesuatu yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan.

Penamaan tersebut berkaitan dengan kesakralan tari ini yang menyangkut ketuhanan, yang mana segala sesuatu tak akan terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Tarian ini termasuk kesenian adiluhung yang tak hanya berfungsi sebagai hiburan, karena memang hanya tersaji untuk sesuatu yang khusus dan sangat resmi.

Penari dalam Tari Bedhaya Ketawang

Penari Bedhaya Ketawang berjumlah sembilan orang. Jumlah penari tersebut dalam mitologi Jawa mewakili sembilan arah mata angin dalam kekuasaan sembilan dewa atau yang disebut sebagai nawasanga. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa jumlah penari yang sembilan melambangkan kesembilan Wali atau Walisongo.

Karena bersifat sakral, tari ini menuntut beberapa syarat wajib bagi tiap-tiap penarinya. Syarat utama adalah mereka harus gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid, penari boleh menari dengan syarat harus meminta izin kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan caos dhahar di panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta.

Syarat selanjutnya yaitu harus suci secara batiniah. Hal ini mereka lakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran. Kesucian para penari benar-benar menjadi perhatian karena konon Kanjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.

Kesembilan penari Bedhaya Ketawang Surakarta memiliki nama yang masing-masing mengusung makna tersendiri, di antaranya sebagai berikut;

  • Pertama adalah Batak (simbol pikiran dan jiwa)
  • Kedua adalah Endhel Ajeg (keinginan hati atau nafsu)
  • Ketiga adalah Endhel Weton (tungkai kanan)
  • Keempat adalah Apit Ngarep (lengan kanan)
  • Kelima adalah Apit Mburi (lengan kiri)
  • Keenam adalah Apit Meneg (tungkai kiri)
  • Ketujuh adalah Gulu (badan)
  • Kedelapan adalah Dhada (badan)
  • Kesembilan adalah Boncit yang melambangkan organ seksual yang juga merepresentasikan konstelasi bintang-bintang yang merupakan simbol tawang atau langit.

Tata Busana Tari Bedhaya Ketawang

Para penari Bedhaya Ketawang memakai busana dodot ageng atau basahan dengan dominasi warna hijau. Busana tersebut biasa kita jumpai pada pengantin perempuan Jawa. Baca: Pakaian Adat Jawa Tengah. Ada juga gelungan bernama gelung bokor mengkurep ukurannya lebih besar daripada gelungan gaya Yogyakarta.

Selanjutnya, busana para penari Bedhaya juga menghiasi diri dengan berbagai aksesoris perhiasan. Di antaranya adalah centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar dan cundhuk mentul. Mereka juga memakai hiasan tiba dhadha yang berupa rangkaian bunga melati pada gelungan yang memanjang hingga dada bagian kanan.

Penyajian dan Musik Pengiring Tari

Tari Bedhaya Ketawang tersaji dengan iringan gamelan khusus yang bernama “kyai kaduk manis” dan “kyai manis renggo“. Hanya beberapa instrumen yang terlibat, yakni kemanak, kethuk, kenong, kendhang ageng, ketipung dan gong ageng. Instrumen-instrumen tersebut selain bersifat khusus juga ada yang mempunyai nama keramat.

Dua buah kendang ageng memiliki nama kanjeng kyai denok dan kanjeng kyai iskandar. Dua buah rebab bernama kanjeng kyai grantang dan kanjeng kyai lipur. Selebihnya, terdapat gong ageng yang memiliki nama kanjeng nyai kemitir. Sementara itu, gending pengiringnya adalah gending ketawang gedhe yang bernada pelog.

Pada awalnya pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang Surakarta berdurasi lama, hingga dua setengah jam. Durasi tersebut berangsur-angsur berkurang sejak zaman Sri Susuhunan Pakubuwana X. Untuk saat ini durasi pertunjukannya hanya satu setengah jam. Dalam penyajiannya, tarian ini terbagai menjadi tiga adegan (babak).

Di tengah-tengah pertunjukan tari, laras (nada) gending biasanya akan berganti menjadi menggunakan nada slendro selama dua kali. Kemudian nada gending kembali lagi ke laras pelog hingga penyajian tari ini berakhir. Pada bagian pertama, gending pengiring tariannya adalah tembang durma, selanjutnya berganti ke retnamulya.

Pada saat mengiringi jalannya para penari masuk kembali ke Dalem Ageng Prabasuyasa, terdapat penambahan instrumen Gamelan Jawa yang mengiringi tarian ini. Di antaranya adalah rebab, gender, gambang, dan suling. Terkait hal ini, penambahan perangkat gamelan tersebut berfungsi untuk menambah keselarasan suasana.

Referensi
  1. karatonsurakarta.com/ta...

Artikel Terkait

Posting Komentar