Kesenian Jaranan - Sejarah, Pakem, dan Struktur Pertunjukan Tari

Posting Komentar

Kesenian Jaranan merupakan salah satu contoh kesenian tradisional Jawa yang paling populer. Meskipun pada kenyataannya penamaan kesenian ini di masing-masing daerah terdapat perbedaan. Namun, hampir kesemuanya memiliki citra yang sama dan selalu identik dengan peng-istilah-an "kuda buatan/mainan".

Memang begitulah adanya. Istilah Jaranan sendiri berasal dari bahasa jawa, "jaran" yang berarti Kuda. Sedangkan akhiran "-an" bermakna bukan sungguhan atau hanya sekedar mainan/buatan. Jadi, kesenian ini bisa diartikan sebagai suatu seni yang dalam pelaksanaannya menggunakan properti kuda buatan.

Adapun bahan bakunya sangat beragam. bergantung pada kreativitas masyarakat di daerah pendukungnya. Sementara itu, mengenai pemilihan "kuda" dalam kesenian ini bukannya tanpa makna. Dalam budaya Jawa, jaran atau kuda merupakan binatang simbol kekuatan, lambang keperkasaan dan lambang kesetiaan.

Sejarah Kesenian Jaranan

Kesenian Jaranan di Jawa Timur memiliki sejarah yang cukup tua. Seni pertunjukan tradisional ini telah ada sejak zaman kerajaan. Dulu, seni pertunjukan terbagi menjadi 2 kategori, yakni seni pertunjukan di istana (court performing arts) dan seni pertunjukan rakyat atau fallo performing art (Soedarsono, 2002: 3).

Ungkapan itu senada dengan pendapat Pigeaud. Menurutnya, seni pertunjukan istana adalah seni yang hidup, tumbuh dan berkembang di kalangan istana. Adapun seni pertunjukan rakyat adalah seni pertunjukan yang berkembang di kalangan rakyat. Salah satunya adalah Jaran Kepang atau Jaranan (Pigeaud,  1938).

Jaranan termasuk salah satu seni tradisional yang keberadaannya cukup tersebar di Jawa Timur. Terdapat kurang lebih 34 daerah di provinsi Jawa Timur yang memiliki seni Jaranan yang khas. Tentu, ada persamaan dan perbedaan di setiap daerah berkaitan dengan nama, bentuk dan fungsi pertunjukan kesenian ini.

Perbedaan dan persamaan tersebut selalu selaras dengan karakteristik budaya masyarakat di mana kesenian ini hidup dan berkembang. Dari berbagai daerah di Jawa Timur yang mana masyarakatnya memiliki kesenian Jaranan, bisa kita dapati beberapa nama unik yang semuanya merujuk pada seni Jaranan.

Sebagai misal adalah Jaranan Buto, Kuda Lumping, Jaranan Jur, Jaran Kepang, Jaran Dor, Jaranan Senterewe, Kepang Dor, Jaranan Pogokan. Ada juga Jathilan, Jaran Bodhag, Tari Turonggo Yakso, Jaranan Pegon serta Jaranan Campursari . Perbedaan nama ini juga mengisyaratkan perbedaan bentuk dan fungsi.

Sementara itu, persamaan kesenian ini di masing-masing daerah biasanya berkisar pada tempat dan arena pertunjukan. Sebagian besar pertunjukannya terselenggara di pentas terbuka dengan penonton berkerumun mengelilinginya. Ketika berfungsi ritual, pertunjukannya biasa dilakukan dengan berkeliling desa.

Ritual-ritual tradisional yang di dalamnya melibatkan kesenian Jaranan umumnya berkisar pada upacara selamatan bersih desa. Selamatan jenis ini bertujuan agar terhindar dari “pageblug” atau segala marabahaya atau penganggu desa. Masyarakat meyakini bahwa pageblug akan mengganggu kehidupan mereka.

Struktur Pertunjukan Jaranan

Persamaan lain pada kesenian ini di masing-masing daerah, salah satunya adalah berkaitan dengan struktur pertunjukan. Pertunjukan Jaranan di daerah satu dengan yang lainnya umumnya memiliki kemiripan dalam hal tersebut. Secara umum struktur pertunjukan Jaranan yang ada di Jawa Timur sebagai berikut:

Bukak Kalangan

Sebelum pertunjukan Jaranan berlangsung, acara biasanya diawali dengan hadirnya seorang pawang atau seorang yang akan memimpin pertunjukan. Pawang biasanya membawa sebuah pecut atau cemeti (cambuk) yang dicambukkan ke tanah dengan berkeliling mengitari kawasan yang menjadi area pertunjukan.

Aktivitas pawang dalam bukak kalangan menjadi penanda bahwa acara akan segera berlangsung. Selain itu, aktivitas tersebut juga mewakili lambang perlindungan pada area pentas dari berbagai gangguan, baik berupa gangguan dari makhluk yang tak tampak maupun gangguan yang berasal dari perbuatan manusia.

Tarian Jaranan

Tari Jaranan tersaji dengan melibatkan 4 penari yang menggunakan properti berupa kuda tiruan atau buatan. Lazimnya, dua kuda tersebut berwarna putih, sedangkan dua kuda yang lainnya berwarna hitam. Warna ini menjadi lambang keadaan yang selalu berlawanan di dunia. Tari Jaranan ini terbagi tiga adegan, yakni :

  • Pertama : Solah Prajuritan, yakni adegan ketika semua penari menari bersama laksana prajurit yang siap untuk berperang.
  • Kedua : Solah Perang, yakni adegan para prajurit berkuda berperang melawan barongan atau macanan serta celeng (penari berkostum babi hutan). Adegan berakhir dengan kemenangan para penari berkuda sebagai simbol bahwa kebaikan akan selalu menjadi pemenang.
  • Ketiga : Adegan Solah Krida mewakili gambaran keberhasilan seseorang dalam memerangi segala rintangan dalam kehidupannya.

Macanan atau Barongan

Setelah tarian Jaranan selesai, kemudian pertunjukan berlanjut dengan menghadirkan penari yang menari dengan menggunakan kostum menyerupai macan. Macan atau harimau dalam hal ini menurut masyarakat Jawa merupakan penggambaran sesuatu yang buruk atau menjadi lambang energi negatif.

Tari Celengan

Penanda berakhirnya pertunjukan kesenian Jaranan. Penari berbusana menyerupai celeng (babi hutan) menari-nari mengikuti iringan musik. Masyarakat memaknai perwujudan celeng sebagai nyelengi atau menabung. Perlambang energi positif agar manusia selalu ingat akan kebutuhan hidup di masa depan.

Pakem Kesenian Jaranan

Perkembangan zaman seiring berubahnya pemikiran di masyarakat memungkinkan apa yang tertata di masa lalu harus berubah. Harus senada dengan selera masyarakat modern yang cenderung menghendaki semuanya serba instan dan praktis. Keadaan tersebut sangat berdampak pada kebanyakan kesenian tradisional.

Terkhusus dalam hal ini adalah kesenian Jaranan di Jawa Timur. Kesenian yang bertahan hidup adalah yang mampu beradaptasi dengan budaya modern yang kering. Akibatnya, perlahan tapi pasti segala bentuk seni dan budaya tradisional yang sangat sarat dengan makna dan filosofi kearifan harus terkikis habis dan punah.

Jika memang untuk mempertahankan kesenian tradisional harus dikembangkan dan beradaptasi dengan selera modern. Sangat diharapkan bahwa pelaku kesenian tersebut tetaplah berusaha mempertahankan intisari serta nilai-nilai yang terkandung dari suatu seni tradisi. Setidaknya, sekedar untuk menjaga pelestariannya.

Dalam hal kesenian Jaranan di Jawa Timur, perlu mempertahankan unsur pakem yang ada. Di antaranya adalah pola lantai panjer papat, prapatan, puteran dan lanjaran.

  • Panjer papat : Pola lantai dengan posisi penari berada pada empat sudut. Menggambarkan empat mata angin simbol panjer (pusat kehidupan). Mengisyaratkan kemanapun manusia berjalan dalam kehidupan ini harus tetap ingat pada sang pencipta.
  • Prapatan : Penari Jaranan bergerak saling bertukar tempat. Gambaran manusia yang selalu bergerak dalam kehidupan ini. Mengingatkan bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain sehingga harus saling membantu untuk memperoleh ketentraman hidup.
  • Puteran : Penari berputar seolah memutari kiblat yang mewakili lambang dunia. Mengandung makna bahwa manusia harus menyeimbangkan kehidupannya di dunia ini.
  • Lanjaran : Penari dalam satu garis sebagai gambaran sebuah kesatuan yang bermakna bahwa manusia harus menyatu dalam wujud batiniah dan rohaniah.

Kesenian Jaranan adalah seni yang mengutamakan keseragaman gerak. Pola gerak serta pola lantainya tertata sedemikian rupa dengan pertimbangan nilai estetik dan unsur pakem yang ada. Namun demikian, pergeseran bentuk lazim terjadi pada kesenian yang ingin bertahan hidup dalam kehidupan masyarakat saat ini.

Hanya saja, diharapkan perubahan atau pergeseran bentuk tidaklah mengikis unsur-unsur tradisi. Perubahan semata-mata sebagai upaya mempertahankan jati diri kesenian tersebut. Segala modifikasi harus mengimbangi kesadaran akan pakem- pakem tradisi. Agar, nilai-nilai budaya bangsa dalam kesenian ini tetap terjaga.

Artikel Terkait

Posting Komentar