Suku Osing Banyuwangi - Sejarah, Budaya, Komunitas Adat Osing

Posting Komentar

Suku Osing Banyuwangi. Sebagai negeri multikultural, salah satu yang terbesar di dunia, Indonesia merupakan rumah bagi berbagai macam suku bangsa. Semakin beragam, karena suku-suku tersebut juga terbagi menjadi sub-sub suku yang juga memiliki keunikan tersendiri.

Suku Jawa misalnya. Suku bangsa terbesar di Indonesia ini juga memiliki sub-sub suku dengan kebudayaan yang khas. Di Jawa Timur, selain Suku Tengger dan Suku Bawean, ada Suku Osing atau Suku Using yang juga terkenal sebagai Wong Blambangan atau Laros (akronim; Lare Osing).

Osing adalah salah satu suku di daerah Banyuwangi dan sekitarnya. Suku yang dianggap sebagai penduduk asli Banyuwangi ini merupakan bagian dari sub-suku Jawa. Dalam peta kebudayaan Jawa, Osing menempati wilayah Sabrang Wetan, yang berkembang di ujung timur Pulau Jawa.

Sejarah Suku Osing

Dalam sejarahnya, orang-orang Osing erat kaitannya dengan awal runtuhnya kerajaan Majapahit pada abad ke-15 M. Orang-orang Majapahit ini mengungsi dan menyebar. Sebagian ke Gunung Bromo (Suku Tengger), sebagian ke Pulau Bali dan sebagian ke Banyuwangi (Suku Osing).

Di Banyuwangi, orang-orang Osing mendirikan kerajaan Blambangan (1536–1580 M). Kerajaan inilah yang dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa. Dalam kurun dua abad lebih (1546-1764 M), Blambangan menjadi sasaran penaklukan kerajaan di sekitarnya.

Kerajaan Mataram Islam menyerang Blambangan demi memiliki hak kekuasaan penuh atas Pulau Jawa. Sementara itu, kerajaan Hindu (Bali) ingin menjadikan Blambangan sebagai wilayah penyokong ekonomi Bali, selain juga untuk melawan ekspansi Mataram Islam.

Pada akhirnya, Blambangan takluk juga pada kerajaan Bali (1697-1764 M). Kesultanan Mataram tidak berhasil menaklukkan Blambangan. Oleh karena itu, budaya Jawa Tengahan tidak mempengaruhi rakyat Blambangan, sementara budaya Bali cukup terlihat mempengaruhi.

Seperti halnya masyarakat di Bali, Suku Osing juga memiliki tradisi puputan, yakni perang besar hingga darah penghabisan. Puputan Bayu (1771-1772 M) adalah yang terbesar. Perang melawan kolonial Belanda yang benar-benar memporak-porandakan rakyat Blambangan.

Terlihat, Wong Blambangan (Osing) kurang memperlihatkan gairahnya pada perang saudara. Jiwa patriotik dan keberanian mereka lebih kentara ketika melawan penjajahan untuk mempertahankan wilayahnya. Dalam sejarah, Blambangan tidak pernah lepas dari pendudukan pihak luar.

Berkaca dari lika-liku sejarahnya inilah yang mungkin membuat sisa-sisa rakyat Blambangan lebih suka berdaulat dengan keunikannya sendiri. Bukan orang Jawa, bukan pula orang Bali. Mereka mengatakan "using" untuk berkata tidak dan tidak menggunakan "ora" seperti orang Jawa.

Kebudayaan Suku Osing

Agama Yang di Anut

Meskipun kini sebagian besar masyarakat Osing memeluk agama Islam, mereka masih menganut kepercayaan leluhur sebelum datangnya Islam. Sebagian ada yang beragama Hindu dan Buddha, karena mereka adalah keturunan Majapahit yang memeluk agama tersebut.

Sebagian mereka juga ada yang masih memeluk kepercayaan lain, Saptadharma misalnya. Suku Osing sangat teguh menjalankan tradisi dan budaya nenek moyang yang erat kaitannya dengan hal-hal berbau mistis. Mengandung unsur Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme.

Kepercayaan mistis dan agama sering bercampur, karena orang-orang Using bersifat terbuka dalam menerima pengaruh dari luar. Mereka tetap menjaga tradisi dan kepercayaannya dahulu, meski tetap bisa menerima agama Islam yang masuk wilayah mereka pada saat itu.

Bahasa Suku Osing

Bahasa adalah satu hal yang unik dari masyarakat Osing. Mereka memiliki bahasa tersendiri, yakni Bahasa Osing. Bahasa ini termasuk salah satu ragam tertua dari bahasa Jawa (Bahasa Jawa Kuno), selain juga telah mendapatkan pengaruh dari bahasa Bali.

Juga, merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa yang dulunya dipergunakan pada masa kerajaan Majapahit. Bahasa Jawa Kuno ini menjadi bahasa kesusastraan Jawa-Bali yang ada sejak abad ke-14 M dan terus hidup hingga pada kisaran abad ke-20 M.

Meski pada dasarnya bahasa Osing hampir sama dengan masyarakat Jawa pada umumnya, dialegnya yang membuatnya unik dan menarik. Dalam dialeg aslinya, kosakata bahasanya diberi penekanan huruf. Siji (satu) menjadi "sijai", kabeh (semua) menjadi "kabyeh", dll.

Istilah Osing sendiri dalam bahasa Osing terbaca "Using" dan berarti "tidak". Istilah ini mewakili keberadaan Suku Osing. Jika Anda bertanya, kalian orang Bali atau orang Jawa? maka mereka akan menjawab "Osing" yang berarti mereka tidak berasal dari Bali maupun Jawa.

Seni Tradisi Osing

Masyarakat Osing di Banyuwangi sangat kaya akan adat dan tradisi yang hingga saat ini tetap hidup lestari. Karena teguh pada kepercayaan nenek moyangnya, tradisi yang ada juga identik dengan mistis. Termasuk keseniannya yang terwariskan secara turun temurun.

Sebagian seni dan tradisi Suku Osing juga telah terpublikasikan pada artikel tersendiri. Beberapa di antaranya Tumpeng Sewu, Barong Ider Bumi, Tari Seblang, Kebo-Keboan dan Tari Gandrung. Selain itu, ada juga Perang Bangkat, Geredhoan dan Petik Laut/Larung Sesaji.

Komunitas Adat Osing

Di Banyuwangi, Suku Using merupakan penduduk mayoritas di sejumlah kecamatan, tepatnya di 9 kecamatan dari 24 kecamatan di kabupaten tersebut. Mereka banyak bermukim di Kecamatan Glagah, Licin, Songgon, Singojuruh, Kabat, Rogojampi, Giri, Kalipiro dan Kota Banyuwangi.

Beberapa ciri khas yang menunjukkan komunitas Osing, di antaranya menggunakan bahasa Osing, memiliki buyut (danyang desa) dan menyakini kepercayaan leluhurnya. Mereka juga bersifat homogen, lebih melakukan perkawinan dengan orang dari desa yang sama.

Hingga saat ini, terdapat 14 Komunitas Adat Osing yang tetap bertahan. Beberapa di antaranya adalah Komunitas Adat Andong, Aliyan, Alasmalang, Bakungan, Cungking, Dukuh, Glagah, Grogol, Kemiren, Macan Putih, Mangir, Mandaluka, Olehsari, dan Tambong.

Di antara ke-14 komunitas yang ada, Komunitas Adat Kemiren adalah yang paling menonjol. Masyarakat di Desa Kemiren di Kecamatan Glagah ini dianggap sebagai salah satu yang sangat teguh menjalankan tradisi Osing yang diturunkan oleh luluhur mereka.

Karena kaya akan budaya dan tradisi, Desa Kemiren Banyuwangi pun telah ditetapkan sebagai daerah cagar budaya oleh Pemerintah Daerah. Desa ini resmi menjadi tujuan wisata dan terkenal dengan sebutan Desa Wisata Osing pada tahun 1995 oleh Bupati Purnomo Sidik.

Artikel Suku Osing ini hanya merupakan rangkuman dari berbagai sumber. Untuk memperkaya informasi atau untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih utuh, sangat direkomendasikan juga membaca sumber/tautan yang ada di dalam spoiler "referensi" di bawah ini:

Referensi
  1. eprints.umm.ac.id/34140...
  2. sipadu.isi-ska.ac.id/mhs...
  3. kemiren.com/sejarah-de...
  4. historia.id/politik/articles...
  5. id.wikipedia.org/wiki/Ke...
Lebih baru Terlama

Artikel Terkait

Posting Komentar