Tari Legong Bali - Pengertian, Penyajian & Sejarah Perkembangan

Posting Komentar

Indonesia itu cantik dan salah satu sudut kecantikan yang cukup kentara dari Indonesia ada di Pulau Bali. Adapun salah satu pesona Bali terdapat dalam gerak tari tradisionalnya. Indonesia memang indah dan Bali itu indah, tari Bali jelas indah, apalagi Tari Legong.

Pengertian dan Penyajian

Legong merupakan sebuah tarian klasik Bali yang terlahir di dalam lingkungan Keraton Bali. Di katakan bahwa tarian Legong adalah tarian tradisional yang menjadi sumber inspirasi munculnya tari-tarian kreasi baru di Bali (Kesuma, 2011).

Legong adalah nama dari sekumpulan tarian klasik Bali dengan perbendaharaan gerak tari yang begitu komplek yang terikat dengan struktur tabuh pengiring. Konon, Legong banyak mendapat pengaruh Gambuh, dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak tari.

Kekhasan Legong juga terlihat dari namanya. “Leg” berarti gerak tari yang luwes dan lentur dan “Gong” berarti gamelan. “Legong" mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh Gamelan Bali yang mengiringinya, yakni Gamelan Semar Pagulingan.

Dalam pertunjukannya, Legong biasa membawakan banyak ragam cerita. Namun, cerita Legong yang paling populer adalah cerita Lasem yang di dalamnya mengisahkan kasih tak sampai Prabu Lasem kepada Putri Rankesari.

Terdapat 5 struktur dalam Tari Legong yakni papeson, pangawak, pangecet, pangipuk dan pakahad (Bandem 1994). Penyajian tari ini bermula dari penampilan penari yang disebut Candong (Emban) yang kemudian diikuti oleh dua penari Legong.

Pada kisah Prabu Lasem, kedua Penari Legong ini masing-masing memerankan Prabu Lasem dan Putri Langkesari. Adapun pada cerita Jobog (Kuntir) kedua Legong ini masing-masing membawakan tokoh Subali dan Sugriwa (Bandem, 1994).

Sejarah Tari Legong Bali

Dalam sejarahnya, Legong muncul pada kisaran abad ke 19 M dari sebuah ide seorang Raja Sukawati bernama I Dewa Agung Made Karna. Terdapat cerita yang mengatakan ide awal tarian ini bermula dari mimpi raja yang ketika itu sedang sakit keras.

Raja I Dewa Agung Made Karna bermimpi melihat dua gadis menari lemah gemulai dengan iringan musik gamelan yang indah. Ketika sang raja sembuh dari sakitnya, mimpinya tersebut ia tuangkan ke dalam repertoar tarian dengan ensambel gamelan lengkap.

Di sisi lain, ada beragam pendapat menyertai sejarah Tari Legong yang semuanya berdasarkan legenda-legenda Bali. Ada yang mengatakan, Batari Giriputri melahirkan dua putri dari kedua betisnya yang kemudian turun ke bumi untuk mengajarkan Tari Legong (Bandem 1994).

Suartaya (2011) memaparkan Babad Sukawati yang menyodorkan kisah seorang raja Sukawati, anak Agung Made Karna. Pada akhir abad ke 19, ia bersemedi khusuk di taman yang sejuk di Ketewel, Sukawati. Dalam yoga semedi itu, ia melihat para bidadari sedang menari gemulai.

Para seniman Kraton Sukawati menerjemahkan kejadian itu dalam bentuk karya seni topeng berparas cantik yang penarinya adalah para gadis belia. Tari yang memakai topeng canggem ini, hingga kini sakral di Pura Payogan Agung Ketewel. Masyarakat takzim menyebutnya topeng legong.

Meskipun demikian, hingga saat ini belum jelas sejak kapan Legong yang tanpa topeng muncul dan berkembang. Ada pendapat yang menyebut tarian ini merupakan melalui evolusi dari Gandrung, sejenis tari pergaulan yang penarinya adalah para seniman pria.

Perkembangan Tari

Dulunya Tari Legong Bali adalah tarian sakral yang hanya tampil di pura sebagai sarana upacara Hindu. Para penari mengenakan topeng dan harus melaksanakan taksu sebelum pementasan. Kadang tarian ini juga tampil sebagai hiburan Raja dan bangsawan di puri.

Puri Agung Peliatan merupakan salah satu puri di Bali yang memelihara tarian tersebut. Penari Legong yang baku adalah dua orang gadis suci yang belum menstruasi. Mereka membawakan tarian Legong di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton.

Kedua penari tersebut disebut Legong dan mereka selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu atau properti. Sementara itu, terdapat juga beberapa jenis tarian Legong yang menggunakan seorang penari tambahan tanpa properti kipas, namanya Tari Condong.

Pada tahun 1928, karena perkembangan tarian Legong yang semakin surut, akhirnya sang raja mengizinkan tarian ini untuk tampil di luar puri. Sayangnya, usaha tersebut tidak menunjukkan hasil yang baik akibat dari serangan kolonial Belanda pada abad ke 19 M.

Merujuk pada Wikipedia , surutnya popularitas Legong juga akibat dari maraknya bentuk Tari Kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru bermula sejak kurang lebih akhir tahun 1960, dengan menggali kembali dokumen lama sebagai bahan rekonstruksi.

Tahun 1970 bisa dikatakan sebagai zaman keemasan bagi seni pertunjukan di Pulau Bali. Sebagian besar seni pertunjukannya pun tetap bertahan hingga sekarang. Salah satu tarian tersebut adalah Tari Legong yang termasuk ke dalam jenis seni Balih-Balihan.

Referensi
  1. http://www.academia.ed...
  2. https://id.wikipedia.org/wi...

Artikel Terkait

Posting Komentar