Beksan Lawung Ageng, Sejarah, Fungsi, Peran dan Busana Penari

Posting Komentar

Beksan Lawung Ageng merupakan salah satu tarian pusaka di Keraton Yogyakarta sebagai karya dari Sultan Hamengku Buwono I. Lawung Ageng termasuk tari unggulan setelah Tari Bedhaya yang juga merupakan bagian dari ritual kenegaraan yang umumnya hanya tampil pada waktu dan tempat tertentu.

Secara umum, tarian pusaka di Yogyakarta tersaji pada saat ulang tahun dan penobatan raja, pernikahan putra-putri sultan, dan acara-acara istimewa. Tari Lawung Ageng terlahir sebagai kesenian yang menjadi idiom (simbol) budaya pendukung legitimasi kekuasaan raja, selain juga sebagai simbolisasi latihan perang.

Sekilas Sejarah Tari Lawung Ageng

Lazim kita ketahui bahwa pada masa penjajahan Belanda, raja-raja Jawa sebagai penguasa lokal yang diagungkan oleh rakyat, tidak lagi berkuasa secara penuh. Pada awalnya, mereka melawan secara sporadis. Akan tetapi karena kekuatan yang ada tidak memadai, perlawanan itu pun mengalami kegagalan.

Pada akhirnya, secara politik dan ekonomi keraton Jawa berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Pada saat seperti itu, Beksan Lawung tercipta sebagai upaya Sultan Hamengku Buwono I untuk mengalihkan perhatian pihak Belanda yang sebelumnya khawatir akan adanya latihan militer di lingkungan keraton.

Terlihat bahwa sebenarnya tarian Lawung Ageng juga merupakan latihan militer yang terselubung untuk melatih ketangkasan dan ketangguhan para prajurit. Selain untuk menunjukkan kebesaran sang raja, Lawung juga bertujuan untuk menyulut semangat patriotisme dan bela negara para prajurit istana.

Penari dalam Beksan Lawung Ageng

Oleh karena Beksan Lawung Ageng tercipta sebagai simbolisasi latihan perang maka, karakter keras dan disiplin khas prajurit pun sangat kental mendominasi. Tarian ini juga terkenal dengan sebutan Beksan Trunajaya karena yang menarikannya adalah para prajurit kesatuan Nyutra dari korps Trunajaya.

Setidaknya 16 orang penari pria terlibat dalam penyajian tarian ini. Dua orang berperan penari botoh dan dua lainnya sebagai penari salaotho. Selebihnya, ada peran jajar, lurah dan ploncon (pengampil) yang masing-masing melibatkan empat orang penari. Berikut ini adalah properti dan busana para penari tersebut:

  • Botoh : Menggunakan kain parang barong ceplok gurda, celana cinde, bara cinde, stagen cinde, kamus timang, sampur cinde, kaweng cinde buntal, kiat bahu candrakirana, kalung sungsun, sumping mangkara ron dan keris gayaman serta oncen keris.
  • Salaotho : Menggunakan kain parang seling, celana panji putih, kopel kulit, baju beskap biru, kacu, iket lembaran, dan klinthing.
  • Lurah : Menggunakan kain parang barong, celana cinde, bara cinde, stagen cinde, kamus timang, sampur cinde, kaweng cinde, buntal, kiat bahu nganggrang, kalung sungsun, dan keris branggah serta oncen keris.
  • Jajar : Menggunakan kain kawung ageng ceplok gurda, celana cinde, bara cinde, stagen cinde, kamus timang, sampur cinde, kaweng cinde, buntal, kiat bahu nganggrang, kalung tanggalan oren, keris gayaman dan oncen keris, serta klinthing.
  • Ploncon : Umumnya mengenakan iket tepen, tanpa hiasan, celana, sampur dan kain polos.

Demikian artikel mengenai Beksan Lawung Ageng Yogyakarta. Tentu, artikel ini sangat terbatas dalam hal penyampaian informasi karena hanya bertujuan untuk pengenalan saja. Apabila ingin membaca lebih detail mengenai Beksan Lawung Ageng, Anda bisa melanjutkan pembacaan melalui tautan referensi di bawah ini.

Referensi
  1. repository.isi-ska.ac.id/...
  2. kekunaan.blogspot.co.id...
  3. tasteofjogja.org/content...

Artikel Terkait

Posting Komentar