Tari Telek Bali - Sejarah, Fungsi, & Bentuk Penyajian Topeng Telek

Posting Komentar

Tari Telek merupakan salah satu dari ragam tari tradisional Bali yang menggunakan properti topeng dalam penyajiannya. Tarian Bali lainnya yang menggunakan topeng adalah Drama Tari Topeng, Tari Barong dan Rangda, Brutuk, dan Wayang Wong.

Hingga sekarang ini Tari Topeng Telek tetap hidup lestari dan terjaga. Secara teratur, kesenian tradisional ini tampil di banjar-banjar Bali yang ada di Bumi Serombotan, Klungkung, seperti di Banjar Adat Pancoran Gelgel dan Desa Adat Jumpai.

Fungsi Tari Topeng Telek

Topeng Telek adalah tarian sakral (Tari Wali) warisan leluhur yang pantang untuk tidak dipentaskan. Masyarakat menyakini pementasan tari ini adalah sarana untuk "meminang" keselamatan dunia, khususnya bagi banjar atau desa adat pendukungnya.

Tidak mementaskan Telek sama halnya dengan mengundang marabahaya. Keyakinan itulah yang menjadikan Tari Telek tetap hidup. Bahkan demi menjaga tetamian (warisan) leluhur ini, seluruh pakem pementasan Tari Telek tetap sebagaimana adanya.

Sementara itu, sehubungan dengan waktu pementasan, masing-masing banjar yang mementaskan tarian ini memiliki aturan tersendiri. Sebagian mementaskannya dua kali dalam setahun, sebagian yang lain melakukannya rutin lima belas hari sekali.

Sejarah Tari Telek Bali

Mengingat kurangnya data, hingga saat ini asal usul Tari Topeng Telek belum ada yang mengetahui secara pasti. Sejauh ini hanyalah Tari Telek Anak-Anak yang ada di Desa Jumpai yang telah diketahui sejarah penciptaannya.

Sejarah Tari Telek Anak-Anak bermula dari penemuan kayu berbentuk calonan (belum berwujud) Rangda oleh I Sweca atau Ning Turun di pantai. Ning Turun membawa kayu itu beserta pahat dan temutik (pisau peraut kayu) saat menggembala sapi.

Oleh karena cuaca yang sangat panas, akhirnya ia pun berteduh di Pura Dalem Kekeran. Saat itu, ia masih tersadar ketika mendengar suara "tempe kai" (tirulah aku). Suara tersebut datang bersamaan dengan bayangan berwujud Rangda.

Dengan bersegera ia pun meniru bayangan tersebut. Hanya saja, tiba-tiba bayangan berwujud Rangda menghilang ketika masih terbentuk wajah tanpa telinga. Dari sini kemudian perwujudan Rangda hingga saat ini tidak ada telinganya.

Tapel atau topeng buatan Nang Turun ternyata terlalu besar dan mengandung unsur magis yang besar juga. Ketika pementasan, aura magis yang besar membuat roboh pagar-pagar rumah masyarakat yang ada di sekitaran tempat pementasannya.

Untuk mengatasi kejadian itu, berbekal petunjuk dari orang yang kerawuhan, maka dibuatlah topeng baru. Sebelum membuat topeng tersebut, terlebih dahulu meminta ijin pada penunggu pohon pule di sentra Akah dengan membawa sesajen.

Jauh sebelum itu, Desa Jumpai pernah terkena wabah penyakit, jumlah penduduknya berkurang dari 800 menjadi 300 orang. Penurunan jumlah tersebut selain karena meninggal juga, sebagian penduduknya mengungsi ke Badung, Seseh dan Semawang.

Akibatnya, banjar di Desa Jumpai menciut dari yang semula 5 banjar tinggal hanya 2 banjar saja yang tersisa. Masyarakat menilai kejadian itu akibat daya magis dari Rangda, Barong dan Telek yang setiap masolah menggunakan tapel buatan Nang Turun.

Pada awalnya, dari kejadian tersebut masyarakat pun berinisiatif untuk menghanyutkan kembali tapel buatan Nang Turun itu ke pantai. Sayangnya, tapel-tapel tersebut kembali lagi secara ghaib hingga mereka menemukannya kembali di pinggiran pantai.

Belajar dari peristiwa itu, penduduk di Desa Jumpai akhirnya menyakini bahwa tapel-tapel tersebut memang diberikan khusus untuk Desa Jumpai . Mereka kemudian menyimpan tapel Ning Turun di Pura Dalem Penyimpenan dan tersimpan hingga kini.

Karena daya magis yang terlampau besar, melalui kesepakatan para tetua Desa Jumpai, maka masyarakat membuat yang baru. Tapel yang baru memiliki fungsi yang sama dengan tapel Ning Turun, yakni menghindarkan Desa Jumpai dari wabah penyakit.

Pembuat tapel atau topeng yang baru adalah Kaki Patik bersama dengan Tjokorda Puri Satria Kanginan. Sementara itu, upacara pamlaspas terselenggara di Desa Akah di bawah pimpinan Ida Pedanda Gde Griya Batu Aji yang berasal dari Puri Satria.

Pada saat itu juga, pembuatan tapel Barong, Rangda dan Telek selesai secara bersamaan, termasuk di Desa Akah dan Muncan namun warna tapel berbeda. Topeng di Desa Jumpai warnanya merah, di Desa Akah berwarna putih dan di Desa Muncan hitam.

Dari kejadian itu juga, kemudian Bhatara Gde Desa Akah dan Desa Jumpai dianggap mesemeton (bersaudara). Meskipun pada uraian ini tidak terdapat kepastian waktu terjadinya, setidaknya telah ada gambaran tentang proses keberadaan Topeng Telek.

Sementara ini, Tari Telek termasuk juga Tari Telek Anak-Anak di Desa Jumpai sudah ada begitu saja dan telah berlangsung turun-temurun. Menurut pendapat I Wayan Marpa, Tari Telek Anak-Anak di Desa Jumpai telah berkembang sejak tahun 1935.

Bentuk Pementasan Tari

Pementasan Tari Topeng Telek di Banjar Adat Gelgel tampil dua kali setahun. Pertunjukan biasanya berlangsung pada Buda Umanis Perangbakat (wali Ida Batara di Pura Dalem Guru, Pancoran) dan pada Buda Kliwon Paang (wali Ida Batara Gede).

Pementasan yang kedua terselenggara di jaba sisi Pura Dalem Guru. Dalam hal ini, seluruh masyarakat di banjar tersebut pasti menyaksikan. Bersamaan dengan pementasan ini, mereka juga memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Sementara itu, Tari Telek di Desa Jumpai tampil lebih sering. Tepatnya setiap rahinan Kajeng Kliwon atau lima belas hari sekali. Penyelenggaraannya bersama upacara piodalan di Pura Penataran Dalem Cangkring, Pura Taman Sari dan Pura Dalem Katulampa.

Jadi, Tari Topeng Telek di Desa Jumpai terselenggara setidaknya 27 kali di setiap tahunnya. Dalam pementasannya, umumnya Tari Telek di Bali melibatkan empat penari pria. Meskipun demikian, terkadang ada juga penari perempuan yang menarikannya.

Di Desa Jumpai, semua penarinya masih berusia anak-anak sampai memasuki masa truna bunga (akil balik). Oleh karena banjar di desa ini terbagi menjadi dua, Banjar Kangin dan Banjar Kawan. Jadi, kedua banjar secara bergiliran mementaskan tari ini.

Para penari membawakan Tari Telek memakai topeng putih berkarakter tampan nan lembut dengan iringan Tabuh Bebarongan. Penampilan tari ini satu rangkai dengan Tari Jauk, Tari Topeng Penamprat, Bhatara Gede (Barong), Rarung dan Bhatara Lingsir (Rangda).

Selama kurang lebih dua jam, seluruh unsur tarian berpadu membangun satu kesatuan cerita yang utuh. Cerita dalam tarian ini mengisahkan tentang Bhatara Ciwa yang mencoba menguji keteguhan cinta sang istri yang bernama Bhatari Giri Putri.

Sebagai puncak pementasan, di akhir pertunjukan Tari Telek Bali biasanya akan ada atraksi yang menegangkan dari para penarinya. Adegan menusukkan keris ke dada yang bersangkutan maupun ke dada Bhatara Lingsir atau Rangda.

Untuk informasi lebih detail mengenai Tari Topeng Telek, silahkan merujuk pada tautan referensi di bawah. Melalui referensi tersebut, bisa Anda temukan info termasuk fungsi, motif gerakan, struktur dan pola lantai, serta tata busana Tari Telek.

Referensi
  1. wacana.co/2015/07/tari-top...
  2. purnamiap.blogspot.co.id/2...

Artikel Terkait

Posting Komentar