Kesenian Bantengan - Sejarah Perkembangan & Bentuk Penyajian

Posting Komentar

Kesenian Bantengan. Malang Raya sebagai sebuah wilayah di Jawa Timur yang populer dengan wisata dan kulinernya, ternyata juga memiliki beberapa kesenian tradisional yang cukup berkembang. Dalam jenisnya, kesenian dalam kebudayaan masyarakat Malang umumnya lebih berupa tari-tarian.

Setelah sebelumnya terpublikasikan perihal Tari Topeng Malangan dan Tari Beskalan Putri, artikel ini akan mencoba lebih dekat dengan seni Bantengan yang berkembang di Malang Raya dan Mojokerto. Sesuai namanya, Bantengan adalah seni pertunjukan dengan tokoh sentral berupa topeng banteng.

Dua orang sebagai pelaku banteng, satu pemain berperan sebagai kaki depan sekaligus pemegang kepala banteng dan pengontrol tarian. Satunya lagi menjadi kaki belakang dan ekornya. Topeng yang digunakan terbuat dari kayu dengan tanduk asli banteng, sementara kostumnya berwarna serba hitam.

Dalam prakteknya, kesenian Bantengan di Jawa Timur merupakan sebuah seni budaya tradisi yang menggabungkan beberapa unsur seni. Selain mengandung unsur sendra tari, di dalam kesenian ini juga terdapat unsur olah kanuragan, musik, hingga syair atau mantra yang kental dengan nuansa magis.

Pelaku seni Bantengan meyakini bahwa permainan mereka lebih menarik apabila telah memasuki tahap kerawuhan atau kerasukan. Dalam hal ini, sang pemegang kepala banteng kesurupan arwah leluhur (dhanyangan). Bantengan adalah kesenian komunal yang melibatkan banyak orang di dalamnya.

Kesenian ini menggambarkan sifat kehidupan hewan banteng yang gemar berkoloni atau berkelompok. Dari sini, kebudayaan bantengan bertujuan membentuk perilaku masyarakat pendukungnya untuk selalu hidup dalam nuansa keguyupan, gotong royong, serta selalu menjunjung tinggi rasa persatuan.

Rasa persatuan dalam Bantengan terutama terlihat dalam budaya anjang sana anjang sini yaitu budaya balas budi antar kelompok. Kelompok-kelompok Bantengan bergantian meramaikan acara di daerah lain, setelah sebelumnya mengundang kelompok daerah lain untuk meramaikan acara di daerahnya.

Sejarah Seni Bantengan di Jawa Timur

Ada anggapan bahwa cikal bakal kesenian Bantengan telah ada sejak zaman Kerajaan Singosari. Anggapan tersebut berdasarkan relief di Candi Jago, Tumpang, Malang. Terdapat dua relief, satu menggambarkan pertunjukan banteng melawan macan, yang lain menggambarkan tarian topeng berkepala banteng.

Bahkan jauh sebelum itu, perihal pengambaran kesenian ini juga telah tersiar sejak zaman Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Kahuripan atau bahkan sejak abad-abad sebelumnya. Mengenai hal ini, kita bisa menimbang beberapa skrip para pujangga baik yang tertulis pada prasasti maupun di skrip layang-lontar.

Beberapa skrip pujangga tersebut di antaranya adalah danur weda, babat purwa kerti, lungkonanta, suluk plencong, asna weda serta jati panuluh. Untuk membaca lebih lengkap sehubungan dengan Bantengan mulai dari zaman Purwa Jawi dan Mayadwipa, Anda bisa merujuk artikel referensi baca di sini.

Selanjutnya, kesenian Bantengan pun terlahir kembali sebagai bagian dari kesenian pencak silat hingga menjadi sebuah pertunjukan mandiri seiring dengan animo masyarakat. Setidaknya ada dua versi mengenai asal-usul daerah yang pertama kali melestarikannya, yakni Kota Batu (Malang) dan Pacet (Mojokerto).

Seni Bantengan Batu Malang

Dari catatan yang bersifat tutur, tersebutlah seorang pendekar dari Kota Batu (dulu masih menjadi bagian dari Kadipaten Malang) yang bernama Saimin. Beliaulah yang membawa kesenian ini yang selanjutnya bergabung dengan Pak Saman (kelompok Siliwangi) dari Pacet untuk mengembangkannya di wilayah Pacet.

Di Batu (kini menjadi kotamadya terpisah dari Kabupaten Malang), kesenian Bantengan telah bermula dari masa perjuangan. Pada masa itu, pemuda di sana banyak yang "nyantri" ilmu kanuragan pencak silat di pondok pesantren di daerah Jombang. Ketika selesai, mereka pun pulang dan mendirikan padepokan sendiri.

Agar banyak yang tertarik mempelajari seni bela diri tersebut, mereka pun membuat sebuah kesenian dengan penokohan hewan banteng melawan macan. Penokohan tersebut bukan tanpa makna, hewan banteng yang cenderung hidup berkoloni melambangkan rakyat jelata, adapun macan mewakili penjajah Belanda.

Selain kedua penokohan tersebut, masih ada satu penokohan lagi yakni penokohan monyet yang melambangkan provokator yang bertugas sebagai pemecah-belah. Monyetan (istilah dari penokohan monyet) selalu berusaha memprovokasi penokohan banteng dan macan agar keduanya selalu bertarung.

Meski awalnya kesenian ini hanyalah merupakan pelengkap seni bela diri pencak silat, lambat laut berkembang menjadi kesenian yang berdiri sendiri. Setelah berkembang pesat di Batu, selanjutnya menyebar ke wilayah di sekitar pegunungan Arjuno-Welirang, khususnya Pacet, Mojokerto yang berdekatan dengan Batu.

Bantengan Pacet Mojokerto

Merujuk pada Surabaya Post, 1997, kesenian ini berasal dari Pacet, tepatnya di Desa Claket. Pendapat ini bersumber dari Pak Amir anak dari Mbah Siran yang menghidupkan Seni Bantengan di Claket. Selanjutnya menyebar dan berkembang di sekitar Pacet. Di sisi lain, ada juga yang mengatakan dari Jatirejo dan Trawas.

Mbah Siran adalah mandor hutan di masa Belanda yang juga pendekar pencak silat yang energik dan kharismatik. Beliau menemukan bangkai banteng di tepi hutan, dibawa dan dibersihkan tengkoraknya. Melalui tengkorak itulah tercetus ide melengkapi kesenian pencak silat yang saat itu sudah tidak menarik lagi.

Pada masa awal, tengkorak banteng asli itulah yang Mbah Siran gunakan sebagai topeng Bantengan dalam pertunjukan seninya. Selanjutnya, kesenian yang baru tersebut beliau beri nama "Bantengan". Kesenian ini hadur sebagai bagian dari pertunjukan pencak silat sehingga atraksi yang tersaji menjadi lebih bervariasi.

Biasanya kalau tampil di tempat tertentu, seni Bantengan Pacet masih lengkap dengan pencak silat. Namun jika ada undangan meramaikan karnaval atau sejenisnya, Bantengan tampil sebagai kesenian yang mandiri. Dalam perkembangannya, Bantengan menjadi salah satu kesenian yang sangat digemari oleh masyarakat.

Perkembangan yang pesat turut memunculkan kelompok-kelompok Bantengan baru yang turut meramaikannya. Di Kecamatan Pacet sendiri, kurang lebih telah ada 17 kelompok kesenian ini. Kelompok tersebut tersebar di desa-desa sekitar, termasuk Claket, Kambengan, Cempoko Limo, Barakan, dan lain-lain.

Bentuk Pertunjukan Kesenian Bantengan

Dalam prakteknya, kesenian Bantengan selalu melibatkan sekelompok orang yang memainkan musik khas Bantengan. Mereka mengiringinya dengan alat musik gong, kendang dan lain-lain. Pemainnya adalah dua orang laki-laki, satu di depan berperan sebagai kepala, sementara satunya lagi di belakang sebagai ekornya.

Menariknya, hampir selalu di setiap pertunjukan, pemain depan akan kesurupan sehingga orang dibelakangnya berusaha mengikuti setiap gerakannya. Pertunjukan Bantengan yang energik semakin menarik dengan keberadaan Macanan. Dua orang laki-laki bertopeng dan berkostum harimau (biasanya kuning belang orange).

Macanan cenderung bertugas untuk membantu sang banteng yang kesurupan atau menahannya bila sudah tak terkendali. Meski demikian, sering kali pemain Macanan juga ikut kesurupan. Apabila keadaan sudah semakin tak terkendali, hadirlah seorang pamong yang memimpin dengan membawa kendali berupa cambuk.

Selain Macanan, juga ada Monyetan yang memprovokasi. Selebihnya, setiap pertunjukan Bantengan, biasanya ada sesepuh atau orang tua dengan kelebihan mampu memanggil dan mengembalikan dhanyangan. Perangkat lain yang terlibat adalah pemain jidor, Gamelan, pengrawit, serta sinden (setidaknya 1 orang setiap posisi).

Referensi
  1. bantenganku.blogspot.co...
  2. bantengannuswantara.wo...

Artikel Terkait

Posting Komentar