Tari Topeng Malangan, Sejarah Perkembangan dan Penyajian Tari

Posting Komentar

Tari Topeng Malangan merupakan salah satu kesenian tradisional Malang yang cukup populer. Sesuai dengan namanya, kesenian Wayang ini dalam prakteknya ditampilkan oleh orang yang wajahnya tertutup topeng dengan iringan alunan Gamelan Jawa dan tari-tarian.

Tari Topeng Malangan juga terkenal dengan sebutan Wayang Topeng Malangan. Kesenian ini termasuk salah satu dari 8 kesenian yang berasal dari Jawa Timur yang masuk dalam penetapan Warisan Budaya Takbenda Nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sejarah Tari Topeng Malangan

Tari Topeng Malang merupakan tradisi budaya dan religiusitas masyarakat Jawa yang telah ada sejak sekitar abad ke-8 M. Terlahir pada masa Raja Gajayana memerintah Kerajaan Kanjuruhan. Dulu, topeng berbahan batu dan menjadi bagian dari acara persembahyangan.

Selanjutnya, topeng dikontruksi menjadi sebuah seni tari pada masa Raja Erlangga. Merujuk pada buku Henri Supriyanto, pada awalnya Tari Topeng Malang ini hadir dengan pola pikir India mengingat perkembangan sastra pada waktu itu didominasi oleh sastra India.

Selain itu, karena nenek moyang Jawa pada masa itu masih menganut agama Hindu Jawa. Tari Topeng Malang juga mengambil cerita-cerita dari India, seperti kisah Mahabarata dan Ramayana. Wayang Topeng berfungsi sebagai media komunikasi antara kawulo dan gusti, antara raja dan rakyatnya.

Perubahan dan Perkembangan Tari

Perubahan cerita dalam Wayang Topeng bermula pada masa Kertanegara di Singasari. Pada waktu itu, ada pengalihan cerita Wayang Topeng ke cerita Panji yang mengisahkan kepahlawanan dan kebesaran kesatria-kesatria Jawa, terutama masa Jenggala dan Kediri.

Beralihnya cerita di dalam kesenian ini adalah bentuk identitas kebesaran raja-raja yang pernah berkuasa di Tanah Jawa. Adapun rekontruksi cerita Panji oleh Singosari merupakan suatu kebutuhan untuk membangun legitimasi kekuasaan Singasari yang mulai berkembang.

Tari Topeng Malangan berkembang pesat hingga masa Kerajaan Majapahit sampai ketika agama Islam masuk ke Pulau Jawa. Di masa ini, pembawaan Tari Topeng Malang kembali berubah dan lebih berfungsi sebagai media dakwah dengan menampilkan cerita-cerita Islam.

Sunan Kalijaga pada masa Kerajaan Demak telah menciptakan topeng yang mirip dengan Wayang Purwa pada tahun 1586 (Sumintarsih dkk, 2012: 27). Topeng oleh Raden Wijaya hadir sebagai media rekonsiliasi antara Kediri, Singosari, dan Majapahit dalam merebut kekuasaan.

Pasang surut pun mengiringi perjalanannya. Hingga akhir abad XVIII tercatat adanya Wayang Topeng tampil di Pendapa Kabupaten Malang. Saat Malang dipimpin oleh A.A. Surya Adiningrat atau Raden Bagoes Muhamad Sarib, 1898-1934 (Pigeaud, 1938, Supriyanto & Adi Pramono, 1997, Onghokham,1972).

Pada kurang lebih tahun 1930, Pigeaud telah mencatat beberapa perkumpulan Wayang Topeng yang terdapat di Pulau Jawa. Satu di antaranya adalah kesenian Wayang Topeng di daerah Malang Selatan, yakni di Desa Senggreng, Jenggala, Wijiamba dan Turen.

Sedikitnya jumlah seniman pengukir topeng waktu itu menjadikan kontak antar perkumpulan tetap terjalin karena tidak semuanya punya pengukir topeng. Pengukir topeng wayang yang terkenal pada saat itu adalah Yai Nata (Dusun Slelir), Mbah Reni (Malang Utara) dan Mbah Wiji (Malang Selatan).

Selanjutnya pada sekitaran tahun 1950 muncul pengukir topeng bernama Kangseng dari Dusun Jabung. Sementara itu, Karimoen yang berasal dari Dusun Kedungmonggo mulai terkenal di masyarakat luas sebagai pengukir topeng sejak tahun 1970-an (Murgiyanto,Sal. 1982/1983).

Wilayah Penyebaran Wayang Topeng

  • Daerah Malang Utara meliputi Polowijen, Jatimulyo, Kalisurak.
  • Malang Timur meliputi Jabung, Precet, Pucungmangsa, Wangkal, Glagahdewa, Gubugklakah, Jambesari, Cada.
  • Malang Selatan meliputi Pojok, Gedog, Undaan, Pagelaran, Kedungmonggo, Jenggala, Senggreng, Jatiguwi, Jambuer, Kopral, Pujiombo (Sumintarsih dkk, 2012: 28).

Penyajian Tari Topeng Malangan

Penyajian kesenian Wayang Topeng Malangan biasanya membawakan lakon-lakon Panji (Siklus Panji/Roman Panji). Di antaranya membawakan cerita malat, wasing, wangbang-wideha dan kisah angraeni (Zoetmulder [1974] terjemahan Dick Hartoko, 1983:532-539).

Dalam praktek penyajiannya, mula-mula tata urutan penampilan kesenian ini berawal dari alunan gending giro. Sebagai pendahuluan gending tersebut, ada juga tabuhan gending eleng-eleng, krangean, loro-loro, gending gondel dan yang terakhir adalah gending sapu jagad.

Tari Beskalan Lanang (Topeng Bangtih) menjadi pembuka kesenian ini. Kemudian, secara berturut-turut tampil jejer jawa (Kediri), perang gagal (selingan tari Bapang), gunungsari-patrajayajejer sabrang (Klana Sewandana). Lalu, adegan perang brubuh dan bubaran (Supriyanto & Adipramono, 1997:4).

Referensi
  1. http://sastra.um.ac.id/wp...
  2. http://id.wikipedia.org/wik...
  3. http://malangan.com/sej...

Artikel Terkait

Posting Komentar