Kesenian Ludruk - Pengertian, Asal-usul Istilah dan Sejarah Ludruk

Posting Komentar

Kesenian Ludruk adalah salah satu kesenian tradisional Jawa Timur yang berbentuk drama. Kesenian ini mengangkat tema kehidupan sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya. Pertunjukannya berlangsung dengan iringan musik Gamelan Jawa, dialog atau monolog, serta ada selingan lawakan.

Salah satu hal yang paling menarik dari Ludruk adalah penggunaan bahasa yang lugas sehingga kalangan non-intelek pun mudah memahaminya. Tari Remo biasanya tampil mengawali pertunjukan drama ini. Lalu, terdapat juga pementasan seorang tokoh yang memerankan Pak Sakera (Tokoh Jagoan Madura).

Asal Usul Istilah Ludruk

Ada beragam pendapat terkait asal-usul kata Ludruk. Menurut Cak Markaban, tokoh Ludruk Triprasetya RRI Surabaya, ludruk berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk. Jadi yang membawakan ludrukan itu, kepalanya geleng-geleng (gela-gelo) dan kakinya gedrak-gedruk (menghentak lantai) seperti penari Remo.

Sementara itu Cak Kibat, yang merupakan tokoh Ludruk Besutan mengatakan bahwa nama kesenian ini berasal dari kata molo-molo lan gedrak-gedruk. Gabungan kata tersebut megisyaratkan bahwa seorang peludruk itu mulutnya bicara dengan kidungan dan kakinya menghentak-hentak ke lantai (gedrak - gedruk).

Menurut Dukut Imam Widodo pada bukunya Soerabaia Tempo Doeloe, ludruk berasal dari bahasa Belanda. Kala itu banyak anak-anak Belanda yang senang menonton. Mereka berkata pada teman-temanya, “Mari kita leuk en druk.” artinya yang penting enjoy, happy sambil nonton pertunjukan, begitu kira-kira maksudnya.

Kalau demikian kenyataannya, kesenian ini berarti sudah ada sebelumnya, akan tetapi belum memiliki nama yang “baku”. Oleh karena itu, kemudian lahir ucapan bahasa Belanda “Leuk en Druk” tersebut. Lama kelamaan, istilah leuk en druk pun teradopsi dan pelafalannya menyesuaikan logat Jawa, menjadi ludruk.

Sejarah Kesenian Ludruk

Periode Lerok

Lerok merupakan bentuk permulaan kesenian Ludruk yang berlangsung pada tahun 1907-1915 di daerah Jombang, Jawa Timur. Pelopor periode ini adalah seorang yang bernama Pak Santik dari desa Ceweng, kecamatan Goda, kabupaten Jombang. Dalam hal ini, ia bersama temannya, Pak Amir dari desa Lendi.

Istilah Lerok sebenarnya berasal dari kata lorek yang artinya penuh coretan. Wajah pemain lerok penuh dengan coretan. Lerok istilah lainnya adalah kledek lanang yaitu suatu seni pertunjukan yang mengutamakan nyanyi-nyanyian dalam bentuk kidungan dan pantun (parikan) yang mempunyai tema sindiran.

Lerok tersaji dengan iringan kendang, berkeliling dari desa ke desa. Pak Santik kemudian mengajak Pak Pono mengenakan busana wanita dengan sebutan wedokan, agar pertunjukannya semakin menarik dan lucu. Secara teoritis, mulailah tradisi travesty pada grup ngamen tersebut. Jumlah pemainnya adalah tiga orang.

Periode Besut

Kesenian Ludruk Besut berkembang pada tahun 1915-1920-an dengan pemain Pak Santik, Pak Amir, Pak Pono dan Marpuah. Pelaku utamanya memakai kain panjang (bebed putih) yang menjadi lambang kesucian dan bertugas menyampaikan maksud (bahasa Jawa: mbekta maksud). Besut menjadi sebutan pelaku utama tersebut.

Sebelum pementasan ludruk besutan, akan ada upacara pembukaan berupa saji-sajian atau persembahan. Persembahan tersebut lebih berupa upacara penghormatan kepada empat penjuru mata angin. Setelah upacara pembukaan itu, baru mulai pertunjukan yang menampilkan sindiran, lawakan, kidungan dan pantun-pantun.

Sindiran, lawakan, kidungan dan pantun-pantun yang ada sudah tersusun dalam suatu kerangka cerita yang sudah tetap. Pada tahun 20-an, istilah Ludruk Besutan yang terkenal ada tiga lakon judul cerita. Di antaranya ada Kakang Besut, Paman Jamino, dan Bojoe Besut, Asmunah (ada yang menyebutnya Asmunah atau Rusmini).

Periode Lerok Besut

Periode ini berlangsung tahun 1920-930 dengan masih mempertahankan model besut. Setelah upacara persembahan, tersaji tarian dengan tujuan menghaturkan perasaan kepada Tuhan. Penarinya tarian ini mewakili gambaran seorang satria dengan gerakan yang bermacam-macam sehingga sebutan tarinya adalah tari reno-reno.

Karena di pundak penarinya terdapat properti berupa sampur, maka penari tersebut disebut penari ngremo (tembang kriyo atau kata kerja). Seiring dengan perkembangan kesenian lerok yang sudah tersebar ke berbagai daerah, maka munculah versi tari remo Jombangan (gaya Jombang) dan tari remo Suroboyoan (gaya Surabaya).

Pada masa itu, penari remo telah memiliki ciri khas tersendiri, khususnya pada tata busananya yaitu mengenakan topi hitam dan baju putih (kadang kadang dengan dasi hitam). Selain itu, kaki kanan penari tersebut mengenakan gongseng (berfungsi sebagai pengatur irama gending) dan pada telinga kirinya memakai anting-anting.

Gerakan tariannya dengan menggerakan kepala (gela gelo, istilah dalam bahwa Jawa) dan gerakan kaki yang dinamis cenderung menghentak-ghentak (gedrag-gedrug, istilahnya dalam bahasa Jawa). Inti dari tarian ini ialah sirah gela gelo, sikil gedrag gedrug atau kepala bergerak, kaki menghentak, maka lahirlah istilah ludruk.

Pementasan Ludruk Besutan terdiri dari tandhakan (tarian), dagelan (lawakan) dan besutan. Dalam pementasannya belum menampilkan cerita secara utuh, melainkan dialog yang dikembangkan secara spontan. Cerita masuk dalam ludruk pada tahun 1922-1930. Ludruk yang memasukkan unsur cerita bernama Ludruk Sandiwara.

Periode Lerok & Ludruk

Periode ini berlangsung tahun 1930-1945 dengan bermunculan kesenian Ludruk di berbagai daerah di Jawa Timur. Nama lerok dan ludruk tetap berdampingan setidaknya sampai tahun 1955. Setelah itu masyarakat menggunakan nama ludruk saja. Dan pada tahun 1933, Cak Durasim mendirikan Ludruk Oraganizatie (LO).

Ludruk Cak Durasim terkenal dengan jula julinya yang mengisyaratkan penentangan terhadap pemerintahan Belanda dan Jepang. Pada masa penjajahan Jepang, ludruk berfungsi sebagai sarana perjuangan. Pemain ludruk memanfaatkan pertunjukan sebagai alat penerangan kepada rakyat untuk mempersiapkan kemerdekaan.

Bahkan, pemerintah Jepang menangkap Cak Durasim dan memasukannya ke dalam penjara hingga ia meninggal dunia. Ini lantaran tembang jula julinya yang terkenal, yakni "Bekupon omahe doro, melok Nippon soyo soro". Jula-juli tersebut kurang lebih bermakna bekupon rumahnya burung dara, ikut Jepang tambah sengsara.

Setelah Proklamasi

Periode tahun 1945-1965 yang mana banyak muncul seniman urban. Astari Wibowo dan Samjudin mendirikan Ludruk Marhaen pada tanggal 19 Juni 1949. Setelahnya, muncul juga perkumpulan Ludruk Tresna Tunggal, Ludruk Sari Rukun, Ludruk Panca Bakti, Ludruk Irama Tunggal, Ludruk Masa Rukun, Ludruk Marikaton dan Ludruk Massa.

Tahun 1958, RRI Surabaya secara teknis peran wanita memakai wanita sungguhan karena mementingkan suaranya saja. Sedangkan dalam pengembangannya, pemeran wanita juga tampil di panggung dan RRI Surabaya mendapat banyak ejekan dan cemooh. Lama kelamaan cemooh, ejekan dan kritikan dari pendukung ludruk mereda.

Ludruk pada masa itu merupakan alat bagi kelompok PKI untuk menggalang massa. PKI memanfaatkan kesenian Ludruk untuk menanamkan pengaruh ideologinya di masyarakat luas. Pada tahun 1963 tercatat sudah ada 549 perkumpulan Ludruk di Jawa Timur dan banyak di antara perkumpulan tersebut yang berhaluan kiri.

Periode Orde Baru

Periode ini bermula tahun 1965 sampai sekarang, yang mana sempat terjadi kevakuman pada tahun 1965-1968. Penyebannya adalah Ludruk menjadi organisasi terlarang, Lekra. Perkumpulan Ludruk yang berhaluan kiri bubar, sedangkan perkumpulan Ludruk yang tidak terlibat dengan PKI tidak berani lagi melakukan pementasan.

Pada tahun 1967, pemerintah Orde Baru berusaha membangkitkan kembali perkumpulan Ludruk. KODAM BRAWIJAYA selaku pembina, menyeleksi dan memastikan perkumpulan tersebut bersih dari pengaruh Lekra. Selanjutnya pada kisaran tahun 1968- 1970 terjadi peleburan Ludruk yang dikoordinasi oleh DAM Brawijaya.

Perkumpulan Ludruk di berbagai daerah di Jawa Timur tetap dalam pembinaan ABRI hingga tahun 1975. Pembinaan tersebut akhirnya mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat Jawa Timur dan Indonesia bahwa Ludruk merupakan teater tradisional khas Jawa Timur yang sudah semestinya tetap ada dan lestari.

Perkembangan kesenian ini tidak hanya terbatas di daerah-daerah yang ada di Jawa Timur, melainkan berkembang juga hingga ke wilayah Jepara di Jawa Tengah. Para pekerja PTPN IX Balong yang berasal dari Jawa Timur yang membawa kesenian ini ke Jepara. Mereka melakukan pementasan Ludruk sejak tahun 1969.

Bahkan di tahun 1980-1990-an, Ludruk PTPN sudah rutin mengadakan pementasan di halaman RRI Semarang. Setelah tahun 1990an, keberadaan Ludruk PTPN mulai tenggelam. Untuk itu para pemainnya mencoba menyelamatkan keberadaan kesenian ini di Jepara dengan mendirikan perkumpulan ludruk Kembang Budoyo.

Pada 1980-1990 tercatat 104 perkumpulan Ludruk di Surabaya. Ada Ludruk RRI Surabaya, Ludruk Susana, Ludruk Sidik CS, Ludruk Mandala dan Ludruk Bakotas Surabaya, dll. Senimannya yang terkenal adalah Cak Kartolo, Cak Markeso, Cak Baseman, Pak Kadham (pada 1960-an menjadi favorit Presiden Soekarno) dan Marlena.

Artikel Terkait

Posting Komentar